Z


Aku tidak ingat jika mungkin aku pernah berkata-kata kasar kepada huruf Z, atau menghilangkan salah satu garis horizontalnya, atau menaruhnya di samping huruf p supaya p tak lagi bisa berbincang dengan huruf q dan Z merasa bersalah atas ulah orang lain, atau menyayat perutnya yang miring itu dengan satu garis kecil seperti yang kebanyakan dari kita pernah melakukannya. Sungguh ada yang tak beres dengan huruf Z, dan jika ada satu petunjuk yang membuat aku bisa mengingat segala tingkah burukku kepada huruf Z, mungkin aku lebih bisamenerima kejadian-kejadian yang belakangan ini mengusik tidurku. 


Misalnya kejadian saat aku ditemukan dalam keadaan gamon (gagal move on). Sehabis putus dengan huruf A, aku memang bertekad tak mau lagi bertemu huruf manapun yang menawarkan obat cinta. Selayaknya obat, rasanya sudah pasti pahit. Dan kepahitan itu sudah puas aku dapatkan dari huruf A. Lewat kegeraman itu, aku putuskan mengambil huruf A dari kumpulan alfabet lalu melemparkannya ke tangki septik belakang rumah. Kudengar, dia diterima baik di sana.


Tapi saat tanggal terus bergeser ke kanan melewati warna-warna merah, huruf Z pertama datang. Dia tidak membawa obat, tapi jamu kunir asam. Dari dia, aku tahu bahwa jamu kunir asam harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dan jamu kunir asam harus dikocok sebelum diminum dan sebenarnya tidak penting cara-cara itu dia paparkan padaku, karena saat itu yang penting adalah minum bersamanya. Dari gombalan yang ‘bapak-bapak’ itu, dia menyimpulkan aku juga menyukainya dan akhirnya dia menawarkan obat paling ampuh melupakan huruf A. Dengan menjadi pacarnya. 


Delapan bulan setelah semua traktiran waktu yang aku dapatkan dari huruf Z pertama, ternyata kisah kita tak mekar seindah Layla dan Majnun yang makamnya dijadikan berjejer supaya tetap berdampingan. Jika Layla adalah keindahan dan Majnun adalah kerinduan, mungkin aku adalah keterpurukan dan huruf Z pertama adalah kemuraman. Kisahku dengan huruf Z pertama berakhir. Kendati rasanya tak sepahit yang ditinggalkan huruf A, tetap saja membuatku trust issue dengan huruf Z dan menyebabkanku mendadak jadi suka membaca buku puisi.


Akhirnya aku sampai pada batasnya manusia di mana kuserahkan segalanya pada Tuhan. Tuhan yang mana bebas, yang mau menerima seserahanku saja. Aku menciptakan jarak dengan cinta dan mencoba fokus berteman. Tapi lagi-lagi huruf Z membuat ulah (in a good way). Aku sebut ini huruf Z kedua. Beberapa kali berbincang dengannya, aku merasa seperti akanada kasih yang bersemi di bulan Mei. Aku jadi yakin bahwa huruf Z kedua sengaja membuatku baper dan kemudian setelah viral di hatiku lantas berdalih semua hanya candaan. Basi. Tapi aku tetap menunggu waktu itu datang. He he. 


Ternyata menunggu ketidakpastian terasa lebih meyebalkan. Aku putuskan tak lagi mengharap huruf Z kedua dan mencoba fokus berteman (lagi). Kali ini aku benar-benar sungguhan. Tidak akan ada lagi huruf Z lainnya yang tiba-tiba aku pikirkan saat tengah malam. Tidak akan ada lagi proses pembuangan alfabet ke tangki septik belakang rumah dan aku bersumpah pula tidak akan ada lagi cinta yang merayap lewat kokok ayam pagi buta. Setidaknya begitu keyakinanku sebelum bertemu huruf Z ketiga lima belas jam lalu.

 

Jogja, 3 Juni 2022



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Setengah Sebelas Malam