Postingan

Di Atas Meja

Gambar
Bulan melingkungi malam apa adanya Di hamparan meja itu cerita memakan tempat Uap keluar dari gelas-gelas Tertawa-diam diulang-ulang saja Tetiba hujan Masih jarang-jarang Menyuruh berhenti waktu yang muda Kita membawa kaki beda arah Dan tengah malam baru saja memutuskan Tak ada lagi pertemuan Tidurku semanis jamuan Tidurmu menunggu pagi paling awal

Z

Gambar
Aku tidak ingat jika mungkin aku pernah berkata-kata kasar kepada huruf Z, atau menghilangkan salah satu garis horizontalnya, atau menaruhnya di samping huruf p supaya p tak lagi bisa berbincang dengan huruf q dan Z  merasa bersalah atas ulah  orang lain , atau menyayat perutnya yang miring itu dengan satu garis kecil  seperti yang kebanyakan dari kita pernah melakukannya.  Sungguh  ada yang tak beres dengan huruf Z , dan jika ada satu petunjuk yang membuat aku bisa mengingat segala tingkah burukku kepada huruf Z, mungkin aku  lebih bisa menerima kejadian-kejadian yang belakangan ini mengusik tidurku.  Misalnya kejadian  saat aku   ditemukan dalam keadaan gamon (gagal  move on ). Sehabis putus dengan huruf A, aku memang  bertekad tak mau lagi bertemu huruf manapun yang menawarkan obat cinta.   Selayaknya obat, rasanya  sudah pasti  pahit. Dan kepahitan itu sudah puas aku dapatkan dari huruf A.  Lewat  kegeraman itu,  aku putuskan mengambil huruf A dari kumpulan alfabet lalu melemparkan

Setengah Sebelas Malam

Gambar
Ini jam setengah sebelas malam. Perutku mulas karena seblak level lima yang kumakan barusan dan kopi yang ditraktir kawan merayakan kelulusan. Kosku punya dua kamar mandi luar yang bersebelahan, maklum murah. Skip bagian murah karena isian di perutku mendesak keluar. Aku berlarian kecil melewati beberapa kamar yang kuncian. Segera aku masuk kamar mandi sebelah kanan. Kulihat bak mandi penuh, jadi keran tidak kunyalakan. Waktu berjalan hening sampai ada suara obrolan dari kamar mandi sebelah. Padahal kamar mandi sisi kiri itu lampunya mati, tidak akan ada anak kos yang masuk ke sana pada malam hari. Aku anggap saja mereka juga sedang ingin buang air besar.

Keramaian yang Coba Saya Ciptakan Sendiri

  Saya tidak berencana menulis ini dengan susunan kata yang saya pikirkan baik-baik dan dengan ide yang matang seperti biasanya saat saya menulis cerpen.  Anggap saja ini sebuah diary. Saya jarang menulis diary. Tapi entah bagaimana kesakitan yang beberapa hari ini saya alami membuat saya ingin menulis. Setidaknya menulis bisa bantu melupakan fakta jika saya sendirian di rantauan. Pesan saya di awal, usahakan jangan sakit jika anda di perantauan. Karena bukan cuma badan yang ngilu tetapi hati pun begitu. Kesakitan sendirian, tidak ada yang menawarkan makan tetapi anda harus makan dengan lemah. Obat yang susah payah didapat. Masih memikirkan perijinan pekerjaan yang melelahkan. Sempoyongan ke kamar mandi dan menangis di tengah malam. Hal yang lebih menyakitkan daripada penyakit itu sendiri.  Saya jarang sakit. Saya orang yang ceria dan suka main. Saat sakit seperti ini, saya hanya ingin pulang. Hal biasa dan sangat wajar dialami orang di perantauan, kan? Tapi sayangnya untuk pulang s

Fakta-Fakta Tentang Syekh Syadzili Sang Penemu Kopi Pertama Kali Sepanjang Sejarah

Gambar
         Sajian kopi kian digemari. Berbagai macam jenis dan pengolahan terus berkembang. Bahkan   penelitian menyebut bahwa kopi adalah minuman panas paling dicintai di dunia. Sehingg setiap tanggal 1 Oktober menjadi hari kopi yang dirayakan seluruh penjuru bumi. Hingga sekarang, banyak masyakarat yang memulai harinya dengan secangkir kopi terlebih dahulu. Lantas, siapa pencetus kopi pertama kali?      Biji kopi pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-8 Hijriyah di Yaman oleh Imam Abul Hasan Ali Asy-Syadzili bin Umar bin Ibrahim bin Abi Hudaimah Muhammad bin Abdullah bin Al-Faqih Muhammad Disa'in. hal itu disampaikan oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Husainy Al-Hadramy dari marga Alaydrus (1070 H-1113 H) dalam kitabnya 'Iinaasush Shofwah bi Anfaasil Qohwah'. Beberapa perjalanan penemuan kopi dirangkum di sini. Penyebar Kopi Bukanlah Syekh Syadzili      Dikisahkan dalam perjalanan penemuan kopi, Imam Abul Hasan Asy-Syadzili atau Syekh S

Meraba Tubuh Sendiri

Gambar
                              Dari sekian kegerahan, yang paling kuingat lewat udara pengap dan matahari yang menyengat adalah satu Jumat di tahun 2012. Selembar kain yang menutupi kepalaku telah membuat kulit dibaliknya seperti terpenjara di dalam dinding-dinding tak tembus udara, setidaknya sampai pulang sekolah, dan terulang setiap Jumat – kendati sekolahku berembel negeri. Seringkali aku tak paham mengapa cuaca begitu menuntut keringat. Sebagaimana aku tak paham kenapa harus berjilbab di hari Jumat. Hari yang semestinya bisa menggandakan semangat sebab tak sabar menyambut dua hari istirahat, namun justru berujung penat. Kasihannya lagi saat mengingat bahwa aku tak bisa memprotes ketidaknyamananku sendiri. Itu adalah aku versi dulu. Karena sekarang aku memahami bahwa dinding-dinding yang mengurung udara itu melahirkan pengertian baru: rasa aman dan terjaga, serta aku lebih bisa merasakan identitasku sebagai seorang muslimah. Bagiku tidak mudah untuk capai sejauh ini. Keluar dari zon

Orang Indonesia dan Kulturnya

Ah! Rambutku mulai kusut. Hatiku demikian. Jam bergerak lamban sekali. Tembok hitam Lattente Cafe di Palermo ini terasa menertawaiku. Dua barista cekikikan menyiapkan pesanan. Tak ada yang peduli bahwa aku merasa sangat mengkal kepada satu orang. Telunjukku mengetuk-ngetuk permukaan meja. Mengingat tujuanku berjonggol di sini. Apalagi kalau bukan minum kopi?  Flat White Lattente selalu terbaik dari sekian kafe di Buenos Aires. Lalu apakah aku sendirian? di hari-hari kemarin mungkin iya, sekarang aku akan bertemu dengan orang yang menarik! Tapi tak muncul-muncul batang hidungnya. Huft. Aku sengaja duduk membelakangi pintu masuk. Kafe ini transparan dari depan. Jendelanya selebar pintu dikali dua dan hanya ditempel stiker nama kafe. Meski demikian, meja-meja makin terisi obrolan. Sedang mulutku makin menutup rapat. Flat White yang sudah dingin segera tanggal. "Lattente Cafe. Jam delapan pagi." "Sampai jumpa di sana." O brolan terakhirku dengannya di salah satu ap