Meraba Tubuh Sendiri

            

            Dari sekian kegerahan, yang paling kuingat lewat udara pengap dan matahari yang menyengat adalah satu Jumat di tahun 2012. Selembar kain yang menutupi kepalaku telah membuat kulit dibaliknya seperti terpenjara di dalam dinding-dinding tak tembus udara, setidaknya sampai pulang sekolah, dan terulang setiap Jumat – kendati sekolahku berembel negeri.

Seringkali aku tak paham mengapa cuaca begitu menuntut keringat. Sebagaimana aku tak paham kenapa harus berjilbab di hari Jumat. Hari yang semestinya bisa menggandakan semangat sebab tak sabar menyambut dua hari istirahat, namun justru berujung penat. Kasihannya lagi saat mengingat bahwa aku tak bisa memprotes ketidaknyamananku sendiri.

Itu adalah aku versi dulu. Karena sekarang aku memahami bahwa dinding-dinding yang mengurung udara itu melahirkan pengertian baru: rasa aman dan terjaga, serta aku lebih bisa merasakan identitasku sebagai seorang muslimah. Bagiku tidak mudah untuk capai sejauh ini. Keluar dari zona nyaman dan berlari dengan batas di kanan kiri. Mimpi, kepercayaan diri, hobi, dan banyak lagi yang dikorbankan. Aku menimbang-nimbang cukup lama. Mencoba menjawab kegelisahan yang terus membengkak. Meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan pilihan yang salah. Walau kebimbangan banyak menyertai.

           Hari saat semua berawal, aku sedang santai dan tak sengaja melihat tayangan di televisi, seorang artis cantik menjadi bintang tamu di program talk show dengan penampilan yang berbeda: memakai kain yang menutupi kepala dan lehernya – yang terakhir kulihat, ia belum begitu. Ia tampak lebih anggun dan sopan. Duduk sedikit menyerong ke arah pembawa acara sekaligus lawan bicaranya. Kain – yang mulai sekarang akan kusebut jilbab – warna coklat susu itu lebih gelap dari kulitnya. Raut damai di wajahnya menguar namun ada sedikit gelisah  seperti ingin segera keluar. Mata kamera semakin merapatkan sorotnya.

           Aku membenarkan posisi duduk dan kembali menyimak dengan tegang. Ia, artis itu, berbicara dengan suara sengau menahan tangis. Dia bercerita tentang perjalanannya berhijrah. Memutuskan untuk memakai jilbab dan menutup aurat dengan pakaian yang panjang-panjang. Aku tak ingat banyak apa yang dia ucapkan. Tapi aku ingat betul kalimat yang membuatku juga memutuskan mengikutinya. Meski ia bukan artis idola atau seseorang yang sering kutonton tayangannya.

Saat si pembawa acara bertanya kepada perempuan di depannya: mengapa menghapus semua foto di instagramnya yang tak mengenakan jilbab? jawabannya begini:

 “Setahun yang lalu, saya sempat diingatkan salah satu guru, dia berkata begini ‘kamu tau nggak? kamu itu selalu dicatat lho dosanya’, bayangin followers saya dulu masih berapa ratus ribu, guru saya melanjutkan, ‘itu saja yang melihat, matanya dosa, kamu dipuji di dunia, tapi itu siksaan kamu di akhirat.’ dan ada sahabat saya namanya Jehan, dia bilang, ‘Put, masya Allah kamu cantik sekali, tapi kamu tau nggak yang namanya penyakit ‘ain?’, “apa itu?” tanyaku, ‘penyakit ‘ain itu ketika orang dipuji tapi tidak menyebut masya Allah atau sebagainya. Bahwa kekuasaaan Allah akan jadi bumerang bagi dirimu sendiri.’”

“Dan saya selama ini hanya tahu amal jariah, saya nggak pernah tahu ada namanya dosa jariah. Ternyata ada dosa jariah: di mana ketika orang melihat foto yang auratnya terbuka, dan saat ketika kita sudah meninggal, dosanya akan tetap mengalir. Naudzubillah min dzalik saya nggak bersedia, makanya sampai hari ini, kesempatan kali ini, dengan seluruh kerendahan hati, saya mohon untuk semuanya bantu saya menjadi istiqomah. Tolong bantu saya untuk hapus foto-foto dan video-video saya sebelum berhijrah. Biarkan saya menjadi muslimah yang istiqomah, biar saya bisa meninggal dengan keadaan husnul khotimah dan tidak meninggalkan dosa jariah,” dengan mata yang menahan airnya keluar, artis itu susah payah menjelaskan. Aku terdiam, ada nyeri di ulu hati, dan mataku menghangat.

Berhari-hari aku melamunkan perkataan artis itu. Aku mengonfirmasi kebenarannya. Aku menyetujui setiap kalimatnya. Bulan-bulan  di akhir tahun 2018, aku mulai membeli jilbab dan berlatih mengenakannya. Di bulan-bulan itu, aku terus mencoba menyesuaikan diri dengan tampilanku yang baru: ada satu material yang melekat di tubuhku dan akan aku kenakan terus-menerus. Pakaianku mulai menutupi aurat. Aku memang belum taat, dan nampaknya masih sulit untuk itu. Tapi setidaknya aku percaya akan dosa dan pahala, baik dan buruk, aman dan celaka, yang bisa dimulai dari kelalaian kecil.

Malam penghujung tahun 2018, tekadku yang sebelumnya masih keropos kini membulat sempurna. Kokoh seperti dinding dari baja. Tidak akan ada yang bisa menghancurkan, setidaknya akan sulit melakukannya dengan sengaja. Aku merasa inilah saatnya untuk memberikan utuh diriku dalam proses hijrah: dimulai dari menutup auratku dengan teguh. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan siap. Keputusan itu – walau siapa pun tahu bahwa itu baik – tetap sempat menjadi momok yang saban hari menganggu pikiranku.

Perubahanku sungguh membawa macam-macam reaksi dari mereka yang mengenalku. Salah satunya keluarga yang kaget dengan tampilanku yang baru. Kurasa semua pihak mendukung, tapi sampai kapan aku bisa bertahan?. Tatapannya, suara ragu-ragunya, semua seolah memprediksi bahwa diriku tak beda jauh dengan kucing yang melompat ke air: jauh pada awalnya, berpayah-payah pada akhirnya. Namun aku bersaksi, tidak ada yang menanggapi perubahanku dengan ujaran benci atau hal negatif lainnya. Aku masih bisa mengulum senyum sebab mendapat banyak dukungan.

Meski ini sebenarnya hanya langkah kecil yang teramat kecil. Banyak hal positif datang setelah aku mulai berhijrah. Orang-orang seperti menjadi segan. Mereka melihatku sebagai pribadi lain yang tidak sembarangan seperti dulu. Tak ada lagi yang mengajakku untuk bermain  “aneh-aneh”. Dan serupa angsa yang tak berkerumun di tengah-tengah ular, aku bertemu dengan teman-teman yang selalu mengingatkan untuk berbuat kebajikan dan tak meninggalkan ibadah. Aku jadi bisa terus menjaga diri, sebab ada yang mengawasi dan menegur untuk selalu berhati-hati.

Namun, ada harga yang nampaknya harus kubayar cukup mahal. Saat aku memutuskan untuk berhijrah, saat itu pula aku sedang gencar ditawari menjadi model foto, pemain film, dan perintilan lain di dunia entertainment yang mengunggulkan penampilan. Lantas semuanya meluap tak terlihat asapnya. Aku juga merasa jadi tak bebas lagi dalam berkarya. Bentuk-bentuk seni rupa surealisme, abstrak, nude, anggota tubuh, seks, di sana aku menjiwainya. Melihat itu, darahku berdesir seperti ada sebuah kesatuan. Hal-hal tersebut bukan suatu yang vulgar atau jorok di mataku. Aku memiliki koneksi dengan mereka. Aku menggebu-gebu ingin menciptakaan seperti demikian. Memotretnya, menggelutinya. Tapi sekarang, pagarku sudah berdiri, dan memang semestinya aku bisa memilah siapa dan hal apa yang boleh memasuki.

Tak terasa sudah berjalan satu tahun lebih dan aku sangat ingat ke hari di mana aku hobi mengutuk Jumat, menggerutu tentang cuaca yang terlalu banyak menebus keringat. Sebanyak Jumat yang kuracap itu, kini adalah hari-hariku. Aku tak menepis fakta bahwa kadang imanku turun dan gelisah lagi-lagi mengambil alih hati. Baiknya adalah tak ada sebiji penyesalan dengan keputusan yang sekarang aku jalani. Mata pelajaran tentang hijrah masih terus aku dalami.  Aku bukan muslim yang sangat taat dan tidak pernah melanggar aturan agama. Namun, tak ada bibit mawar yang tak tumbuh di tanah subur. Aku telah menemukan tanah itu, jauh di masa remajaku, lewat peraturan sekolah di hari Jumat.

Kini, tinggal bagaimana aku merawat mawar ini.

 

 

 

Pertengahan Februari, 2021

Inspirasi cerita oleh: Marcya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam