Tidak Ada Obat Rindu, Kecuali Bertemu

 

Aktivitasku belakangan ini hanya rindu. Untuk itu, besok aku akan mengunjungimu, Wit.

***

Witri, hari ini aku akan berangkat menggunakan bus patas Haryanto langsung menuju kotamu. Jogja. Sejak semalam, aku sulit memejamkan mata memikirkan apa yang harus kubawa untukmu. Semarang begitu-begitu saja, Wit. Yang dikenal orang hanya Lawang Sewu dan udara panas. Padahal, asal-usul nama Semarang juga menarik. Semenarik dulu saat kita pertama berbincang dan kamu tertawa dengan guyonanku tentang permen karet yang sebenarnya adalah getah pohon dimasukkan mulut. Wit, saat itu, Semarang lantas menciut tersaingi cantikmu. Aku tidak berusaha menggombal. Hanya saja, naluri memuji itu datang untuk menguatkan saat seorang sedang merasa rindu. Atau justru untuk menambah nuansa berenang semakin dalam di kolam kerinduan. Aku lebih suka pengakuan pertama. 

Wit, aku sudah di terminal Bayangan Sukun. Terminal kecil yang padat. Tidak ada tempat yang cukup layak untuk menunggu di sini. Bangunan kokoh hanya empat berjejer dan terlihat sesak napas karena terlalu berdempetan. Ada kafe kecil dan kantor agen bus antar kota antar provinsi di antaranya. Selebihnya hanya warung-warung yang menjual makanan sederhana dengan harga tinggi. Penjual bakso kuah terlihat pasrah menunggu pembeli. Kamar mandi dan mushola ada di dalam warung-warung itu dan tentu saja berbayar semua. Bercanda jika ada hal gratis di zaman sekarang. Banyak calon penumpang bus menuju Magelang, Jogja, Solo dan tujuan lain hanya duduk-duduk di warung itu, Wit. Termasuk aku. Menunggu dengan gelisah ke kotamu. Perjalanan empat jam ke depan, akan aku ceritakan apa saja yang kutemui, Wit. 

Wit, busku datang. Dua orang berbaju dominan biru turun membuka pintu. Suara pintu bus itu gagah. Aroma khas menguar dari dalam. Kamu kan tahu Wit, aku sebenarnya tidak kuat mencium aroma bus dan rasanya akan mual. Demi muntah kendaraan itu tidak terjadi, sejak dari rumah aku harus bersusah payah mensugesti pikiranku sendiri bahwa aroma bus itu bersahabat dan tidak akan membuatku muntah. Umurku sudah tidak cocok jika masih punya cerita mabuk kendaraan. Terlebih ini perjalanan menuju kotamu. Untuk menemuimu. Fakta itu, sangat membantu mengurangi gejolak di perutku. Dan aku tidak mau justru membawa cerita 'muntahan' ke pangkuangmu. 

Pintu bus sudah ditutup lagi, Wit. Semua penumpang yang bertujuan sama denganku sudah menempati kursinya masing-masing. Walau aku tidak yakin mereka duduk sesuai nomor di tiketnya karena bus ini tidak penuh dan itu membuat beberapa orang menjadi girang karena bisa duduk sesuka hatinya. Tidak dengan aku. Nomor kursi yang kudapat sudah sesuai yang kuharapkan. Empat dari belakang, tidak di atas ban, di pinggir jendela. Semarang rintik-rintik saat bus mulai maju perlahan. Mataku tak sadar menghitung bulir yang jatuh di jendela. 

"Tiketnya, Mas?" Suara kondektur membuatku sedikit terhentak dan refleks segera mencari selembar kertas yang dimaksud. Ah sial. Di mana pula kertas itu? Wit, bagaimana ini? Kertas tiketku tidak ada!.

"Nanti saya ke sini lagi, Mas" anggukan cepat menjadi jawabanku selanjutnya. 

Masih sibuk dan gelisah mencari kertas itu, suara kondektur perlahan samar menuju belakang mengikuti sosoknya. 

Wit, aku tidak bisa menemukan tiketku. Entah di mana aku meletakkannya. Wit, pelupaku sungguh akut. Terlebih jauh dari kamu seperti ini. Rasanya untuk mengingat terakhir aku makan apa, saja susah. Rasanya untuk membedakan rasa juga sudah tidak sepeka dulu. Tapi tak apa, Wit. Kondektur itu sedang senang nampaknya. Dia tak memarahiku. Duduk saja dan nikmati perjalanan, katanya. Aku jadi tambah tidak sabar ingin sampai tujuan. Wit, bus ini sudah masuk tol Ungaran - Bawen. 

Tol yang beroperasi sejak tahun 2014 ini menawarkan pemandangan indah, Wit. Kanan kiri tebing dan rumputnya hijau segar terlihat sejahtera. Tol ini memang membelah pegunungan Ungaran. Rintik mulai berkurang. Ada sedikit kabut menghalangi pemandangan. Di dalam bus ini, aku dan penumpang lain berkelana dengan pikiran masing-masing. Ada yang tertidur dan mengorok keras, Wit. Lelah sekali sepertinya. Aku biasanya juga menutup mata sebentar. Tapi kali ini aku antusias bercerita kepadamu, Wit. 

Keluar tol, bus mengurangi kecepatan. Aku tidak yakin ini sampai mana, sepertinya daerah Temanggung, Wit. Karena banyak penjual nangka dan durian sepanjang jalan. Dari tadi aku menunggu spanduk soto atau gapura sekolah dasar tidak ada yang menuliskan alamatnya supaya memperkuat opiniku tentang lokasi. Nihil.Tiba-tiba bus mengerem. Santai namun bisa dipastikan berhenti. Pintu bus terbuka. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi baik dari depan maupun dari jendela. Pintu bus berdebum lagi. Kendaraan ini mulai jalan maju, satu penumpang juga jalan ke belakang mencari kursi kosong. Seorang bapak-bapak sekitar berusia lima puluh tahunan dengan tas ransel coklat tua begitu sesak. Punggungnya sudah seperti menggendong tempurung kura-kura. Pundak itu terlihat kokoh namun tasnya mungkin sudah ingin jebol. Dia duduk di kursi seberangku. 

Perjalanan sejauh ini lancar-lancar saja, Wit. Aku seperti yakin bahwa pertemuan kita kali ini memang sudah diharuskan Tuhan. Hanya bapak-bapak yang tadi baru duduk sedikit gusar. Aku mencoba tidak memedulikannya. Aku terus menatap keluar jendela sampai ada tangan menyentuh lenganku dan membuatku menoleh. Huft, ternyata bapak itu. Dia ingin berkata kalau ada stopkontak di atas kursi kita masing-masing. Dan dia dengan cengiran menunjukkan gawainya yang sedang diisi baterai. Dia bisu, Wit. Aku tidak bisa bahasa isyarat. Aku hanya mangguk-mangguk sambil tersenyum aneh. Semoga bapak itu tidak tersinggung. Lalu kepalaku kembali terarah ke jalanan. 

Witri, aku sekarang di Magelang. Kurang lebih satu jam lagi aku sampai kotamu. Bus ini masuk ke terminal Tidar. Berhenti sejenak menyilahkan penumpang yang mungkin mau turun mencari kamar mandi. Aku merapatkan jaket. Bus ini dingin. Terlebih sedang musim hujan. Sejak berangkat sampai sekarang, matahari terlihat hanya seperti hiasan penanda jika malam belum datang. Pengamen dan penjual asongan mulai masuk mencari lapaknya. Berbagai macam bentuknya, Wit. Satu yang menarik perhatianku. Pengamen cilik dengan hanya membagikan amplop ke setiap penumpang dan bertuliskan "isi seikhlasnya". Awalnya aku tidak paham maksudnya, Wit. Ternyata dia meminta uang ngamennya diisikan ke dalam amplop. Sebenarnya ini bisa menjadi sebuah kegamangan. Karena jika hanya mengisi recehan akan mencolok dan bisa saja terjatuh. Jika mengisi uang lembaran, minimal nominal pasti dua ribu. 

Aku tidak tahu, Wit. Ide cara mengamen seperti ini bermula dari siapa. Tapi seharusnya anak itu lebih baik jika menyuguhkan sebuah hiburan ringan. Meski suara fals dan hanya pakai krecekan usang. Itu lebih terlihat ada usaha ketimbang hanya menaruh amplop dan menunggu sebentar lalu mengambilnya lagi. Aku mengisi dua ribu. 

Sembari anak itu turun, masuk seorang ibu-ibu membawa dagangannya. Tergantung saling berdesakan di antaranya kacang asin, tahu Sumedang, lemper, tahu bakso bahkan tangannya yang sebelah masih membawa tas-tas kecil bakpia. Menawarkan satu-satu ke setiap penumpang. Sebelum ibu tadi masuk ke dalam bus. Aku sudah melihatnya duduk di bawah kanopi terminal saat bus masuk dan berbelok ke arah jalan keluar. Air wajahnya sumringah melihat bus parkir. Dagangannya masih padat. Lalu ketika bus itu berhenti, ibu itu masih diam, menunggu atau mengantre untuk masuk ke bus. Dia mendahulukan pengamen anak-anak tadi.

Wit, ini pukul empat sore. Melihat ada ibu-ibu yang masih menggantungkan hidupnya dengan bus, aku luluh. Sore makin petang dan sangat mustahil dagangan itu ludes. Bagaimana anak-anaknya di rumah? Siapa yang menyuruh mereka mandi sore jika ibunya masih bekerja luntang lantung begini? Wit, ibuku, ibumu, ibu kita semua adalah manusia pertama yang berani membelah dadanya menjual jantung supaya anaknya tidak mati kelaparan. 

"Kacang, Nak?"

"Dua, Bu."

Bus melaju lagi, Wit. Kondektur memastikan semua penumpang lengkap. Mendung masih merata. Tidak gelap namun tidak cerah juga. Sebentar lagi aku sampai, Wit. Sebentar lagi. 

Jalanan Kota Magelang menuju Jogja cenderung lurus. Sepertinya tadi siang di sini hujan lebat sehingga sepanjang penglihatan semua basah. Genangan-genangan air memantulkan bayangan pengendara lainnya. Hatiku berdetak tak sabar. Sepanjang bus melaju, aku mendengarkan lagu-lagu kenangan kita. 

Wit, aku baru saja melewati gapura perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Aku di Jogja Wit. Tak apa kalau kamu tidak bisa menjemputku di terminal kali ini seperti kali-kali sebelumnya. Aku tahu arah menuju rumahmu. Masih lima belas menit untuk sampai di terminal tempat aku berhenti. Wit, persiapkan dirimu. Ah tidak, aku yang harus lebih mempersiapkan diri. Rinduku ini, seperti gejolak yang membakar perlahan sampai tidak terasa ada air merembes di mataku. 

Pintu masuk terminal tersenyum menyambutku, Wit. Dia seperti tahu jika aku akan mengunjungi wanitaku. Pintu bus perlahan dibuka. Satu persatu penumpang turun membawa tujuannya masing-masing. Bapak-bapak seberangku kembali menyapaku. Kali ini senyumku maksimal dan tidak terlihat aneh lagi. Setelah bus selesai menurunkan semua penumpang. Banyak ojek yang datang menawarkan tumpangan. Aku memilih satu. Berdiskusi untuk mampir ke toko bunga untuk membelikanmu. Aku malu sebenarnya karena ojek itu mencoba menggodaku. Wit, aku diberi harga murah karena ojek itu ikut senang atas tujuanku. Aku melaju menuju toko bunga lalu akan segera ke rumahmu.

Wit, aku menuju rumahmu dan kubawakan segenggam penuh bunga mawar merah. Sudah kupesan supaya membungkusnya serapi mungkin. Sepanjang jalan aku tersenyum tak bisa menyembunyikan haru, Wit. Aku sungguh ingin bertemu.

"Lokasi selanjutnya kemana, Mas?"

"Pemakaman umum Tegalrejo, Pak."



Jogja, 2020. 























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam