Dua Sisi

---
Ciitt...

Dia masuk. Gesekan antara daun pintu yang rapat dengan lantai menimbulkan suara berderit cukup panjang. Pintu tua dan ringkih. Memang sudah saatnya diganti dengan yang lebih layak. Mungkin saja uang jatah pintu baru sudah berpindah ke perut buncit rektorku. Siapa yang tahu?

"Kenapa kau duduk di sampingku, Lin?" Raut wajahku datar tanpa menoleh ke arahnya. Cukup untuk menggambarkan kalau aku tak suka dia ada di dekatku.

"Supaya bisa mencium aroma tubuhmu," sautnya penuh percaya diri.

"Terserah."

Aku masih angkuh. Berusaha tak melihatnya walau selirik. Meyakinkan diri sendiri rupanya tak gampang. Apalagi meyakinkan orang lain.

Kelas sudah berjalan separuh. Aku sukses tak menghiraukan dia. Beberapa kali dia sengaja mencolek lenganku dengan telunjuknya yang panjang. Ah, kesal sekali.  Aku terus saja diganggu. Bertahan supaya tak terlihat terganggu juga melelahkan lama-lama. Di samping itu, aku tak mau dosen di depan curiga atas gelagatku.

"Baik, kuliah siang ini selesai. Tugas dikumpulkan minggu depan. Selamat siang." Tutup dosen separuh baya dengan celana baggy yang kedodoran dan sudah pudar warnanya. Usaha yang sia-sia.

"Siang, Pak!" Seru seisi kelas.

Aku bangkit dari kursi. Keluar kelas menuju kantin. Gerakanku cepat. Valin tergopoh-gopoh mengikuti di belakang. Langkahku sengaja kulebarkan agar tak terkejar. Dan kenapa koridor kampus terasa lebih panjang dari biasanya? Sial, dia berlari. Begitu gesit.

Aku berhenti mendadak. Membalikkan badan hingga Valin hampir saja menabrakku jika dia tak sempat mengerem laju kaki nya.

"Sebenarnya apa yang kau mau, Lin?" Tanyaku sedikit menunduk karena aku lebih tinggi darinya. Posisi kita hanya sejengkal. Bahkan aku bisa mencium wangi cendana yang berpadu dengan aroma rumput yang baru saja dipotong.

"Kenapa diam?" Nadaku sedikit naik.

Mata valin membulat. Ada lapisan air tipis yang memantul seperti kaca. Hanya sekali kedipan, air itu akan runtuh pelan membentuk bulatan.

"Jangan menangis. Aku tak tega," aku menarik tangannya lalu kusuruh dia duduk di salah satu bangku taman. Mendadak aku tak selera pergi ke kantin.

"Sekarang bicaralah," Bibirnya masih terkatup rapat. Seperti susah digerakkan. Bibir yang masih sama menggodanya dari setahun lalu sejak kita memutuskan untuk berpisah. Hanya saja, kali ini terlihat sedikit pucat.

"Aku ingin kembali, Ris. Aku nggak kuat. Aku belum bisa menerima."

Rona kesedihan menggantung di wajah ayunya. Mendung itu menutupi Valin yang ceria. Valin yang selalu punya akal untuk melawan ketakutannya. Wanita yang cerdas. Membandingkan dengan sekarang, sungguh tak enak dipandang.

"Lalu aku harus apa, Lin? Ini tak semudah yang kamu kira. Aku korbannya di sini. Bukan kamu, ataupun orang lain," aku menghela napas, "seharusnya aku yang pantas bicara nggak kuat."

"Apa kau tak bisa berusaha agar kita bisa kembali bersama?"

"Tidak. Aku pun tak bisa jika harus menerimamu lagi dengan keadaanmu yang seperti ini."

"Kau tidak sungguhan, Kan?" Lagi. Mata itu menggenangkan air. Menambah rasa iba.

"Besok aku ke rumahmu. Menegaskan lagi apa yang kamu belum pahami. Aku bawakan bunga kesukaamu."

Aku berdiri. Berjalan meninggalkan Valin yang masih duduk di kursi dengan cat yang sudah mengelupas di sana sini. Menumpahkan bulir-bulir yang sedari tadi kutahan.

                                ***
Jalan menuju rumahnya lumayan jauh dan bergelonjang. Aku musti pelan-pelan dan lihai memilih aspal yang rata. Seikat krisan putih di sampingku bergerak-gerak mengikuti gelombang mobil. Setengah jam kemudian aku berhenti. Dia sudah menunggu ternyata.

"Ini untukmu," Aku menyodorkan bunganya. Tangannya tak menyambut. Aku menarik kembali bunga itu.

"Baiklah, biar aku saja yang menaruhnya di tempat biasa."

Aku berjongkok. Menaruh bunga dengan pelan keatas gundukan tanah yang penuh dengan bunga-bunga lainnya. Bunga yang sama.

"Semoga kau tenang, Lin. Jangan lagi menggangguku. Kita sudah berbeda segalanya."

Ketika aku menoleh kebelakang. Valin tak ada di tempatnya berdiri. Dia sudah masuk ke dalam rumahnya. Sudah berakhir. Aku muak dianggap aneh karena kemampuanku sendiri.


Komentar

  1. Suatu saat pernah ku membaca, catatan tentang kehilangan.

    Kehilangan yang paling menyakitkan adalah kematian, katanya.

    Tak perduli sebesar apa kasih dan rindu yang sedang kau rasakan, dia takan kembali pulang.

    Aku pernah merasakan itu, aku pernah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam