Bingkisan Coklat

Sebentuk awan mengembang di dada. Gumpalannya seperti permen kapas di pasar malam kecamatan yang diadakan setahun sekali. Merah muda dan manis. Tak lupa komedi putar yang suaranya mereot minta pensiun. Pertemuan ini tak ubahnya hal-hal itu. Ada dua pintu menuju senang dan suram. Ini bagian hidup yang wajar. Lalu bagaimana cara Sandita melaluinya? 

***

Hujan turun malas. Sandita harus mengantarkan barang. Dengan gontai dan wajah lesu dia mengambil bingkisan coklat yang ada di pojok ruang tamunya. Bingkisan itu harus dia antar ke kantor pos. Namun Sandita tak pernah tahu harus mengantar ke alamat mana dan kepada siapa. Sayangnya, bingkisan itu tidak meninggalkan isyarat apapun. Hanya inisial huruf F yang tercoret sedikit miring di sisi kiri.

Lima hari yang lalu, Bingkisan persegi coklat berukuran cukup besar tergeletak tanpa tuan di depan pintu rumahnya. Lekat menempel solatip melingkari. Saat itu, Sandita akan keluar membayar tagihan. Belum sampai melangkah menjejak tanah, matanya tajam menatap bingkisan coklat itu. Sedikit menyipit berusaha membaca huruf yang tertulis. F. Siapa yang menaruh bingkisan ini di depan rumahnya sedang di rumahnya tidak ada manusia berinisial F? Sandita menarik cepat bingkisan itu. Menengok kanan kiri khawatir ada orang yang melihat. Cepat menutup pintu. Lalu menaruhnya di pojok ruang tamu. Tak berubah arah sampai lima hari kemudian.  

Selama lima hari itu pula, Sandita terus memikirkan apa isi di dalamnya. Menebak-nebak dari hanya paket yang salah alamat sampai bom rakitan yang bisa kapan saja meratakan rumahnya. Sandita tak tahu langkah apa yang harus diambilnya. Apalagi untuk tahu tuan dari bingkisan aneh itu.  Apakah sebaiknya dia buka saja? Tidak. Rasa takut di pikirannya lebih besar ketimbang rasa penasaran walau terus mendesak ingin keluar.

Akhirnya, Sandita memutuskan akan mengirim bingkisan itu ke kantor pos dan segera melupakannya. Hari ini, jika mengacu pada rencana kecilnya itu, dia harusnya sudah berangkat namun hujan justru berkehendak sebaliknya. Sandita duduk tegak menatap bingkisan yang belum disentuhnya sejak lima hari lalu itu. Matanya melebar tak berkedip. Tatapannya kosong, mencoba menembus kertas coklat yang menutupi bingkisan. Tidak berhasil. Yang ada hanya rasa ingin membukanya semakin besar. Jangan, jangan sampai itu terjadi. Bisa saja justru itulah yang bisa melukainya, pikir Sandita. 

Suaminya tak banyak berkomentar. Suami yang sudah menikahinya lima tahun lamanya. Mereka masih berdua saja di rumah berukuran sedang itu. Belum waktunya Tuhan memberi anak gadis atau pria tampan sebagi hadiah buah cinta Sandita dan Rembilu. Namun itu tidak masalah bagi mereka. Rembilu tak pernah membahas tentang hal itu, dia menjaga perasaan istrinya. Lelaki yang ditemuinya tanpa sengaja di acara pernikahan temannya itu membuat Sandita terkagum-kagum. Sandita merasa nyaman sekali berada di dekatnya. Rembilu pria yang tampan. Kharismanya langsung terlihat walau hanya sekali saja bertemu. Caranya memperlakukan wanita sungguh dipelajarinya. Sandita merasa beruntung bisa memiliki suami seperti Rembilu. 

Sebelum tidur Sandita selalu saja bertanya kepada suaminya apa yang harus dia lakukan dengan bingkisan itu. Selama lima hari jawabannya sama. Rembilu hanya menyuruh mendiamkan saja barangkali ada yang salah alamat dan mencari lalu mengambilnya. Meskipun sudah dibegitukan suaminya, Sandita masih gusar. Seperti ada yang tidak beres. Seperti ada yang mengganjal pikirannya. Berulang kali bingkisan tak bertuan itu sampai masuk ke dalam mimpinya yang hanya membuat Sandita terus seperti dikejar teror. 

Rintik sudah mulai jarang. Sandita melirik jam dinding. Sebentar lagi pukul empat sore. Kantor pos akan segera tutup. Dia rasa menunda pengiriman sampai besok tidak apa-apa. Sandita beranjak. Meninggalkan bingkisan yang terlihat menyedihkan. 

***

Bulan memamerkan pesonanya. Sabit itu terlihat kemerahan di atas genteng rumah Sandita. Rembilu sudah pulas di sampingnya. Sandita semakin gusar dan tak bisa diam di atas ranjang. Bingkisan itu seperti memanggilnya perlahan. Sandita memaksa matanya untuk menutup. Pamitan dengan alam nyata menuju alam bawah sadar. Nasib sial dipikul Sandita, dia bermimpi bingkisan itu. Jika ada orang yang berkata jangan terlalu keras dalam memikirkan sesuatu, nanti akan masuk ke dalam mimpi dan membuat perasaan semakin menjadi-jadi, itu benar. Kaget sekali Sandita akan mimpi barusan. Matanya melek seketika. Keringat sudah membasahi separuh badannya. Napas Sandita tersendat satu dua. Suhu badannya panas dan dingin sekali di bagikan telapak tangan. Dalam mimpinya, Sandita dibuat sangat bersalah karena tidak segera membukanya.

Tanpa berpikir lama. Sandita bangun dan berjalan cepat ke ruang tamu. Tangannya meraih buru-buru bingkisan itu seperti orang kesetanan. Sandita merobek solatip dan kertas coklat yang membungkusnya tebal. Suara napasnya terdengar begitu jelas di malam yang lembab itu. Jantungnya dua kali bertambah kecepatan ketika dilihatnya kardus di depannya sudah tak berlapis. Dikuatkan hatinya, Sandita meraih bingkisan dan sedetik kemudian dia mengetahui isi bingkisan yang sudah seminggu ini tergeletak kaku. Sekaku isinya. Bayi itu tidak lagi bernapas. Sandita histeris menjauh dari bingkisan itu. Teriakannya memekik tajam di tengah malam. Hujan turun deras sekali di luar. Suaminya tergugu sebentar lalu menggoyang-goyangkan Sandita supaya segera sadar. Mata Sandita membulat, airnya merembes ke pipi. Sadar oleh mimpi yang sungguh buruk sekali. Namun tidak sadar oleh bayi yang sungguhan ada di dalam bingkisan itu. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam