Wanita Selepas Subuh

Nur Bayan pernah berkata kepadaku bahwa sebenarnya manusia lahir tanpa telinga. Demi mendengar itu, aku mengerutkan dahi. Lalu dia berkata lagi, manusia terlahir dengan dua mulut. Aku tak menanggapi. Dia melanjutkan ucapannya, entah hanya omong kosong atau sebuah ilmu baru aku belum tahu. Tetapi satu yang aku tangkap jelas, matanya mencari ketulusan. 

***

Dengan tangan dingin dan kaku, aku sesenggukan di sebelah jasad Nur Bayan. Pelayat terus berdatangan dari berbagai macam daerah. Halaman rumah joglo yang tidak terlalu luas sudah penuh. Pohon belimbing kembar seumuran rumah itu kini ditebang guna tempat kendaraan merangsek. Penuh sesak sudah. Ban mobil berdempetan dan spion motor saling bersentuhan. Bacaan-bacaan ayat keluar masuk lewat jendela dan pintu rumah yang terbuka. Pagi ini satu lagi bendera plastik kuning terikat di tiang tenda kesedihan. Atau kebahagiaan yang ditutupi. Bisa jadi ada. Tenda-tenda itu saksi bisu perasaan manusia yang lalu lalang saling menatap penasaran.

Suaraku parau kebanyakan menangis. Lenganku keram karena terus tertindih kepala. Bagaimana rasanya menjadi manusia paling bersalah sudah aku alami hari ini. Cibiran tetangga dari A sampai Z sudah masuk telinga tanpa permisi seperti rumahnya sendiri. Namun, apapun yang terjadi di luar sana, kematian Nur Bayan sungguh membuat jiwaku mati suri. Tidak bisa merasakan apa-apa selain rasa bersalah bercampur emosi kehilangan.  Nur Bayan satu-satunya orang yang sudi merawatku setelah aku ditemukan meringkuk sendirian di bawah pohon Mahoni oleh bapak-bapak yang berjaga di pos ronda lima belas tahun silam. Aku berdosa karena ketahuan berzina dengan suami orang dan sebagai imbalannya, aku di usir dari desa sebab dianggap akan membawa mudharat dan petaka besar. 

***

Selepas subuh itu. Saat adzan samar-samar menghilang, otak dan badanku otomatis bekerja. Aku terhuyung-huyung bangun dari tempat tidur. Mengerjap-ngerjap mataku menyesuaikan penglihatan. Lampu rumah ini temaram. Meninggalkan aura kesepian yang mendalam. Aku hanya tinggal berdua dengan Nur Bayan. Di waktu beginilah aku sering ingat jasa Nur Bayan dulu. Setelah penemuanku itu, bapak-bapak ronda itu beringas menanyaiku dan sesekali mencolek tubuhku untuk memastikan aku bukan setan. Aku diam saja karena lemas dan haus setelah berjalan puluhan kilometer dari desaku. Terlebih aku membawa beban moral yang rasanya semakin memberat tiap selangkah kakiku maju.  

Mereka beramai-ramai membopongku ke rumah Pak RT. Waktu itu menjelang subuh. Warga desa mulai beraktivitas. Tidak banyak. Namun, karena hari ini spesial, ada penemuan seorang wanita compang camping tak berdaya, berita itu cepat merambat lewat udara menembus gubuk-gubuk rotan rumah warga. Seketika desa ramai. Lebih riuh dari lebaran jika hari ini satu Syawal. Pusing sekali kepalaku saat itu. Sungguh aku bisa mengingat sangat jelas dan menceritakan apa yang terjadi. Tapi terlalu banyak suara dan bau iler menjadi satu. Menambah pusing sampai mataku tinggal putihnya saja lalu sedetik lagi aku tidak sadarkan diri. 

Sejauh yang aku ingat, Nur Bayan yang membawaku ke rumahnya. Berkata ke warga ingin merawatku dan menjadikan teman karena dia hidup sendirian. Kesepakatan dibuat. Nur Bayan mengadopsiku dengan syarat harus memberiku nama dan membuat 'selametan' untuk seterusnya menjadi identitasku di desa itu. Wira Wangsa. Nama dari Nur Bayan untukku. Wira berarti kuat, wangsa membawa arti keluarga. Dari nama itu, kuketahui, Nur Bayan ingin menjadikan aku keluarga dan berharap aku selalu menjadi wanita kuat selama dia hidup dan menyaksikan aku hidup pula. Selanjutnya, aku akrab dipanggil Mbak Wik. Selanjutnya pula, Nur Bayan menjadi seperti mbokku sendiri. 

Waktu melesat seperti cahaya. Musim jambu berganti durian. Musim banjir beralih kekeringan. Desa itu susah payah beradaptasi. Terlihat dari hasil kebunnya yang sering gagal karena ekstrem cuacanya. Begitu juga yang terjadi dengan badan Nur Bayan. Tak kuat menahan panas lembab udara, serta banyak pikiran akibat gagal panen terus menerus, Nur Bayan jatuh sakit. Awalnya panas biasa dan aku hanya memberikan obat masuk angin yang kubeli di warung. Sembuh sebentar. Panas lagi. Sembuh lagi. Naik lagi suhunya. Di tambah penglihatan mata kirinya mulai kabur. Seperti ada pasir menutupi katanya. Kaki sebelah kirinya mati rasa. 

Beruntung cepat kuketahui, Nur Bayan terkena gejala stroke. Hal itu bisa kusimpulkan dari orang-orang yang bercerita kalau saudara atau tetangganya atau dirinya sendiri pernah mengalami gejala serupa. Karena minimnya biaya dan akses ke rumah sakit. Aku hanya mendengar cara pengobatan dari dukun desa. Setiap pagi, aku disuruh membuatkan kopi dan roti tawar yang nanti dibasahi kopi itu lalu menyuapkan ke Nur Bayan. Katanya, kopi bisa mencegah stroke menjadi lebih parah. Itu artinya, tetap saja Nur Bayan akan menjemput ajalnya, hanya saja waktunya yang di ulur. Bahkan dukun itu pun belum tentu benar. Tentu opini ini hanya kusimpan dipikiranku sendiri. 

Meski begitu, aku telaten membuatkan kopi dan roti tawar setiap selepas subuh. Di waktu yang sama, kulihat Nur Bayan terus memburuk keadaannya. Dia sudah tidak bisa bicara. Terkadang makanannya hanya sampai di mulut. Lalu aku mengambilnya lagi dan membuangnya. Tidak banyak yang tahu tentang ini. Orang-orang di desa hanya tahu bahwa Nur Bayan sekarat. Sekarat memikirkan aku yang semenjak menjadi anak angkat Nur Bayan, seakan keburukan selalu datang di rumahnya. Gagal panen sampai penyakitan. 

Darimana aku berasal dan kisah pengusiranku sudah seperti tumbuh bersama rumput liar. Setiap ada anak menangis rewel, selalu di ceritakan kisahku seolah aku sudah menjadi sebuah legenda dan berakhir seperti bahan menakut-nakuti bocah yang nakal. Tak banyak yang bisa kulakukan, paling penting, Nur Bayan tidak seperti mereka. Mereka tak ubahnya para petinggi desa. Bermuka manis di depan namun ucapannya mengandung racun mematikan. 

***

"Sepertinya Nur Bayan sudah mati dari sebelum subuh, tapi Mbak Wik tidak sadar dan terus menyuapi kopi." Bisik seorang pelayat di pojokan ruang.

"Ih, malang sekali Nur Bayan. Mati saja tidak ada yang sadar." Timpal satunya.

"Harusnya dulu Nur Bayan tidak mengambil Si Wik, begini kan jadinya, memang ada beberapa manusia yang diciptakan untuk membawa petaka." Sahut sebarisnya. 

Bukan tanpa alasan aku mendengar semua itu. Karena sampai saat ini pun, ketika jasad Nur Bayan aku tangisi di depan para tamu sialan ini, aku tidak tahu kapan tepatnya Nur Bayan sudah tidak bernapas. Lampu kamar tempat Nur Bayan berbaring begitu redup dan jendela rapat menutup. Yang jelas, selepas aku membuatkan kopi dan menyuapi roti tawar- yang kurasa sudah masuk mulutnya- aku lalu menyapu halaman rumah sampai sinar matahari merata. Setelah itu, aku dapati Nur Bayan mulutnya menganga dengan kopi dan roti masih di atasnya. Jerit pertamaku langsung membuat tetangga geger dan keluar rumah mencari tahu apa yang terjadi.

"Nur Bayan mati" 

Begitu yang aku dengar sepanjang pagi ini. Dari sana, aku merasa menjadi manusia payah dan bersalah. Bahkan seorang dermawan yang tulus merawatku tidak kuketahui kematiannya. Seperti kematian itu yang sengaja menjauh dariku. Bahkan hal paling buruk di dunia pun tidak mau dekat-dekat denganku. Apa benar aku hanya wanita terkutuk pembawa petaka? 

***

Gundukan tanah basah itu mulai ditinggalkan penontonnya. Sudah tidak lagi menarik karena hanya ada aku di sana. Teman-teman Nur Bayan satu persatu pamit bergerak pulang. Aku tersenyum pias. Hanya sebagai biar pantas saja. Malam selepas Nur Bayan pergi dan aku sendirian, aku membuat kopi dan roti tawar. Menjejalkan semua ke dalam mulut sampai menutup rongganya. Aku menyusul Nur Bayan.  Sampai kapan baru ada orang yang mengetahui aku tak peduli. Dengan cara lebih buruk ini, aku membalas terima kasihku ke Nur Bayan. Maaf juga Nur, nama yang kau berikan terlalu berat aku bawa. 


Jepara, 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam