Waktu setelah Malam


Tidak ada yang lebih legowo dari menunggu dengan senang hati. Meskipun bayangan nestapa melayang-layang di pikiran karena semua ini belum ada kejelasan, Mandot tak pernah merasa keberatan walau besarnya sebentuk koma. Dia terlalu banyak melamun dua hari ini. Memikirkan cara paling romantis menyambutnya. Bagaimana tidak? Mandot hanya bisa menjumpainya setahun sekali dan itu pun hanya semalam. Mengenang tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya sama saja gelisahnya. Meski begitu, Mandot berani memastikan, lewat dia, segala urusannya akan terselesaikan tanpa cacat.

Bulan menggantung separuh. Mandot bersender di tiang nomor dua dari pintu masuk bagian depan masjid. Kepalanya menunduk dalam. Dia menumpahkan seluruh perhatian dengan barang di depannya. Sekali dia sempat menoleh ke pojok mimbar, jarum besar menunjukkan pukul dua pagi.

"Kau sedang apa, Ndot?" tanya Resman yang entah kapan sudah duduk bersila di samping Mandot.

Mandot. Nama panggilan Binari. Ya, nama asli lelaki keturunan Jawa Madura ini Binari Suhendro. Suhendro nama bapaknya. Tukang jagal yang punya lebih dari 500 pisau. Kata orang, Mandot lebih cocok dijadikan nama KTP ketimbang nama aslinya karena wajah Binari yang menyerupai codot. Mandot sendiri plesetan dari codot. Kulit wajah Mandot hitam dan hidungnya kecil menghadap ke atas. Tapi rautnya selalu terlihat segar dan bersih. Mungkin karena Mandot rajin sekali wudhu. Andai pengeluaran air di pondok ini dihitung per-santri, pastilah Mandot paling banyak menyumbang catatan.

"Menulis," jawabnya singkat.

Mendapat jawaban singkat tanpa menoleh itu, Resman kembali menggurat garis lantai. Pekerjaan para pengangguran memang macam-macam. Sedangkan Mandot terlihat begitu gugup atas pertemuan yang akan datang ini. Demi menenangkan gelagatnya, dia mencoba menulis. Apapun ditulisnya. Harapan-harapan yang akan dia utarakan sampai keresahan jika dia tak kembali bisa menemuinya tahun depan.

Suatu hari, Mandot pernah mencoba membicarakan hal ini kepada Resman – teman karibnya. Sayangnya, respon Resman tak terlihat antusias justru menganggap Mandot aneh. Entah karena Mandot yang kurang jelas menyampaikan atau Resman saja yang setengah sadar mendengarkan. Bagi Resman, tidak ada orang yang lebih aneh dari seorang lelaki yang menunggu tanpa kepastian namun semangatnya bermekaran. Setiap kali Resman bertanya, siapakah gerangan, Mandot hanya tersenyum. Sesekali Resman merasa temannya ini gila karena terlalu banyak hafalan di kepalanya. 

"Surat buat gadismu itu, Ndot?" Sambung Resman.

"Bukan, ini lebih penting dari seorang gadis sekalipun anaknya Kyai Dulloh."

"Untung kau ini aneh, Ndot. Jadi aku bisa lebih gampang menipumu," tawa puas terdengar keras dari mulut Resman.

Mandot menarik sarung Resman. Gerakannya cepat sampai Resman belum sempat mengelak. Selanjutnya hanya kata ampun yang keluar dari mulut Resman. Adu tarik tidak berlangsung lama. Kekuatan tangan Resman tak sebaik ejekannya. Sarung Resman melorot hingga celana pendek selutut yang dipakainya terlihat jelas. Mandot cekikikan di waktu menjelang fajar. Suara tawanya walau kecil terdengar keras dan menggema karena masjid ini sepi. Sepi sebelum waktu sahur datang dan santri lainnya terbangun untuk sholat tahajud dan makan.

Nyaring ayam berkokok dari desa seberang pondok sudah terdengar. Masjid mulai ramai dari sebelumnya. Mandot bangkit meninggalkan Resman yang tidak melakukan apa-apa sedari tadi. Resman punya masalah susah tidur. Dan segala macam obat sudah dicobanya. Pernah Mandot memberi masukan kepada Resman untuk ruqyah. Justru lebam di lenganya karena tinju sebagai jawaban. Mandot berjalan menuju tempat wudhu di sisi kanan Masjid Al-Ma'ruf yang usianya sudah lebih dari 30 tahun ini. Resman berlari kecil menjajari langkahnya.

"Apa kau mau bertemu dengannya, Ndot?" tanya Resman masih penasaran.

"Nah itu dia masalahnya, Res. Aku tak tau kapan dia datang, yang jelas dalam waktu sebulan ini," jelas Mandot sambil memutar kran air.

"Lalu kau mau apa?"

"Aku akan menunggunya di setiap malam, Res. Aku tidak ingin mengecewakannya."

"Terserah kamu saja, Ndot. Dasar aneh, menunggu kok gak tau yang di tunggu datangnya kapan," gumam Resman sebelum dia menjauh dan mengambil takbir pertamanya.

Entah bagaimana cara Mandot bisa bertemu dengannya. Dia tidak memberi tahu kapan akan bertandang. Mandot hanya disuruh menunggu selama sebulan ini. Setiap malam, maka dia akan memberi tanda-tanda hadirnya. Rasa kantuk tak ubahnya sahabat baru bagi Mandot. Untuknya, menunggu kali ini sangat menyenangkan. Tapi jauh di ulu hati, Mandot mulai bosan dan lelah. Mandot menggeleng-gelengkan kepalanya, berupaya menghilangkan pikiran yang membuat dia menyerah untuk menunggu keajaiban itu datang. 

Paginya, ketika Mandot menenteng kitab ngaji hari ini, di sebelahnya Resman terus merapal nyanyian antah berantah. Tak terdengar jelas. Kalau pun jelas, tetap saja lagunya asing dan tidak terkenal. Pernah suatu kali Mandot bertanya lagu apa yang setiap pagi di nyanyikan itu. “laguku sendiri, Ndot. Suatu saat aku akan menjadi musisi seperti Ahmad Dhani” jawaban Resman. 

“Kau sudah bertemu gadismu itu semalam?” selidik Resman

“Bukan gadis, Res.”

“Terserahlah kau mneyebutnya apa. Jawab pertanyaanku tadi”

“Sepertinya belum”

“Sepertinya?”

“Iya, sepertinya. Belum ada tanda-tanda dia datang”

“Hahaha Mandot Mandot. Kau kira kuntilanak pakai tanda-tanda kalau mau datang. Jangan-jangan memang begitu yang selama ini yang kau tunggu? Hahaha”

“Tidaklah, aku masih waras”

Sudah malam ke-23. Mandot masih setia melek. Sesekali dia mengambil wudhu menghilangkan kantuk. Temannya hanya buku catatan usang dan suara nyamuk terbang di sekitar telinga. Malam semakin matang. Mandot merasakan ada yang aneh dengan malam ini. Tidak ada angin sama sakali. Riuh jangkrik juga sepi. Yang jelas terdengar hanya suara kipas angin di atap rendah masjid Al-Ma’ruf. 

Mandot berjalan ke teras masjid. Mendongak menatap langit. Bulan bersinar tegas. Gemintang disekitarnya menyala. Secepatnya Mandot tahu apa yang terjadi. Hal yang ditunggunya datang. Berlarian Mandot menyungkurkan diri di sajadahnya. Menangis terisak merapal banyak macam doa. Pertemuan ini tidak berlangsung lama. Mandot harus cepat melaporkan seluruh kesahnya. Matanya semakin berair. Mandot rindu sekali kepada malam Lailatul Qadar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam