Cermin

Lihat profil diri di depan cermin. Lurus memandang dalam mata sendiri. Terus menyelam sampai tak melihat kenyataan lagi. Aku bertemu jiwa manusia sedang lemah. Ada luka zaman dia senang berharap. Ada pula harapan yang masih menggebu walau redup cahayanya. 

"Makanya jangan berlebihan" nasihat basi akhirnya keluar.

"Tidak pernah. Aku wajar-wajar saja, kok" belanya. 

"Banyak yang belum kamu ketahui, tapi kamu selalu berusaha mencari tahu adalah salahmu sendiri."

Lihat dia sekarang, hanya diam mencari pembenaran atas tingkahnya. Dia seolah tak peduli aku berkata apa. Aku bagian hatinya yang waras. Sedang dia berada di bagian yang tulus sampai tak masuk akal.

"Aku tidak tahu orangnya yang mana, tapi dia orang baik katanya. Cukup begitu aku sudah lega. Tak kurang percayaku padanya dari dulu. Kamu kan tahu, aku sudah gila" Itu adalah ucapan paling panjangnya satu jam terakhir. 

Aku kasihan melihatnya. Dua kali kecewa dari satu orang yang sama. Sebenarnya dia tak perlu kecewa kalau tidak berlebihan. Kan sudah kubilang dari awal, dia kelewatan dalam merasai. Selalu saja mengelak. Tambah kasihan sebab bersih tulus dia dulu mengawali.

"Aku tidak punya kuasa atas semua kejadian yang kamu lalui. Kumpulkan saja seluruh kekuatanmu. Ini akan sedikit menguras tenaga. Ada yang mau kamu sampaikan lagi?" 

"Kenapa terasa sakit?" Katanya serak menahan tangis.

"Kokohkan hatimu yang lunak itu"

"Siapa yang bisa memberi tahu tentang salah dan benar? Siapa yang bertanggung jawab atas diriku yang jadi begini? Apa aku masih berhak dapat balasan lagi? Pikiranku hanya berputar-putar disana. Napasku sesak kalau ingat. Aku terus menerus menyalahkan diri sendiri. Seperti aku merasa sudah tak dipedulikan dan sudah menjadi tak pantas" celotehnya sambil terisak.  

Aku memeluknya semakin dalam sebagai jawaban. Isaknya juga menyakiti perasaanku. Air matanya tajam jatuh di kulitku. Biarkan saja bunga ini layu sebelum tumbuh ayu memikat. Proses sebuah pengertian hati memang naik turun. 

Tangisnya lama. Wajahnya kuyu tenggelam tertutupi pundak. Bahkan dalam keadaan seperti ini, dia menyembunyikan kekalutan hati dengan berusaha. Masih terkatup mulutku. Semenit. Dua menit. 

"Cemburu tidak pernah baik-baik saja, Tah"

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam