Jangan Terulang, Aku Mohon

 Diam tanpa kerjaan seperti ini membuat aku memikirkan banyak hal. Silih berganti berputar secara acak di kepala. Seperti ada antrian panjang berkelok. Melelahkan sekali. Bagaimana bisa tidak melakukan apa-apa justru membuat badan pegal-pegal, pusing kepala, susah tidur, batuk berkepanjangan? Maaf, yang terakhir tidak termasuk. Jadi, jangan sampai kalian menganggur, atau kalian akan merasa super galau sepertiku sekarang. Yeah, bukan cuma kepala yang bekerja keras saat ini, jauh di dasar hati ada perasaan yang sedikit menganggu. Aku sudah mencoba menepis ke pinggir. Tidak mempan, perasaan itu tumbuh menjamur. Seperti menempel di pori-pori kulit. Semakin menguasai tubuh. Maka aku tidak bisa apa-apa selain membiarkannya mengambil alih hari-hari. Ini rumit. Begitu rumit sampai aku berkeringat kalau memikirkannya. 
Begini, tentu saja kalian pernah merasa patah hati, bukan? Tak melulu soal cinta. Misalnya kecewa karena ada yang membatalkan janji, kena marah atasan, tidak dihargai usahanya, ditinggal mati orang tersayang, sungguh masih banyak hal yang membuat terisak di dada. Menangis dalam hati karena air mata sudah tak bisa mewakili. 
Tapi Kali ini, aku begitu takut masa lalu terulang lagi. Bahkan aku merasa baru kemarin itu terjadi. Jika teringat, aku akan mendadak jadi pendiam. Lalu air mata tiba-tiba sudah menggenang. Kecewa tak terperikan. Hari-hariku gelap. Siang terasa malam, malam terasa panjang.  Ditanami padi justru tumbuhnya rumput teki. 
Bisa seperti ini bukan tanpa alasan. Dulu aku mengaguminya luar dalam. Tidak melihatnya sehari saja badanku gemetaran. Matanya seteduh daun lontar di pedalaman rimba Sumatra. Ketika dia tersenyum, bulan sabit lari terbirit-birit. Tidak kuasa menyanding. Alamak, ingin rasanya aku membungkus senyumnya itu, supaya bisa kunikmati sendiri saja. Hari cepat berganti, singkat cerita, aku berhasil mengait hatinya. Mendapatkan perhatiannya. Saat itu terjadi, aku begitu senang. Seolah berhasil merampungkan penelitian tingkat tinggi setelah berpuluh tahun. Tidak berhenti tersenyum dari pagi ke pagi lagi. Aih, aku ingin membahagiakannya. 
Waktu terus bergerak ke kiri. Cintaku semakin meninggi seperti gedung-gedung di ibukota. Dia terlihat bak puncak Wijaya. Dingin dan indah dipandang. Hingga sore di bulan Desember itu menjadi salah satu hari terburukku. Dia memutuskan menjauh. Alasannya karena tidak cukup waktu memberi perhatian untukku. Entah, mungkin ada alasan lain yang hanya disimpannya sendiri. Tentu saja kalian pernah merasa patah hati, bukan? 
Esok lusa, aku bersama yang lain. Kembali membuka hati yang masih basah lukanya. Tidak pernah aku berniat membandingkan dengan yang sebelumnya karena mereka punya kelebihan masing-masing. Dia pemuda yang mandiri. Sifat pelupanya parah sekali, tapi terkadang menggemaskan. Giginya rapi dan ada lesung pipi samar di kedua sisi. Dia juga humoris sampai aku pernah menangis sambil tertawa karena leluconnya. Ketika aku kesal, dia cukup diam. Menunggu lalu menertawakan hidungku yang kembang kempis. Tekadnya bulat membawa aku lebih bahagia. Jarinya erat mengenggam tanganku yang kecil. Aku mulai berani bermimpi lagi.
 Sayangnya, dia perlahan mulai sibuk. Berkuranglah waktu untukku. Aku yang sudah terlanjur basah ini memulai berpikir segala kemungkinan. Melakukan hobi, menyibukkan diri. Tapi tetap saja, tidak mudah menghindari prasangka buruk ini. Sekali lagi aku katakan, aku begitu takut masa lalu itu terulang lagi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Meja

Z

Setengah Sebelas Malam